Ajang Jakarta World Forum for Media Development 2016 (JWFMD) hari kedua di Universitas Multimedia Nusantara, kembali menghadirkan sesi Grand Debate sebanyak 3 sesi yang mengangkat tema ekstrimisme kekerasan, jurnalisme investigatif, dan jurnalisme di kalangan Millenial.
Sesi pertama dari Grand Debate dengan tema ekstrimisme dihadiri Endy Bayuni (The Jakarta Post, Indonesia), Courtney Radsch (CPJ, USA), Nasser Weddady (Independent Consultant, Mauritania), dan dimoderatori oleh James Deane (BBC Media Action, UK).
Debat ini berfokus pada praktik jurnalistik terkait ekstrimisme dan radikalisme. Radsch sendiri menyatakan bahwa literasi media dan teknologi diperlukan bagi masyarakat, sehingga bentuk sensor atas materi-materi sensitif ini sebenarnya tidak diperlukan.
Dalam sesi ini, Endi Bayuni menceritakan pengalaman media Indonesia dalam mengatasi radaikalisme ini. Dirinya menyatakan bahwa seharusnya media tidak memberi tempat bagi kelompok radikal ini untuk menyuarakan dirinya, apalagi kelompok ekstrimisme dan radikalisme ini sering menggunakan pemberitaan media untuk meperluas propaganda mereka. Bayuni juga menambahkan bahwa usaha untuk mengurangi suara ini di internet merupakan langkah yang sia-sia. Yang harus dilakukan adalah, memerangi mereka.
“Untuk melawan mereka, adalah dengan menggunakan internet untuk memenangkan hati, pikiran, dan jiwa masyarakat,” jelasnya
Selanjutnya, Patrick Butler (International Center for Journalism, USA) menjadi moderator dalam sesi yang membahas jurnalisme investigatif di abad ke-21.
Debat ini mengumpulkan para pembicara yang bekerja sama dalam proyek Panama Paper, yaitu Wahyu Dhyatmika (Tempo, Indonesia), Hamish Boland-Rudder (International Consortium of Investigative Journalists, Australia), David Kaplan (Global Investigative Journalist Network, USA), dan Miranda Patrucic (OCCRP, Bosnia and Herzegovina).(rls)